Tujuh Kesalahan Umum Manajemen Loyalitas Pelanggan

Tujuh Kesalahan Umum Manajemen Loyalitas Pelanggan

Loyalitas pelanggan menjadi hal yang penting bagi banyak bisnis. Sebab, dari loyalitas ini bisnis tidak harus selalu mulai dari nol lagi setiap bulannya. Ada konsumen-konsumen yang diharapkan selalu kembali dan bisa membantu kita untuk “mengganjal” sebagian target bulanan. Sehingga, kita hanya tinggal mencari selisihnya saja. Sayangnya, walaupun jadi salah satu hal paling penting, namun masih banyak kesalahan-kesalahan fundamental dalam manajemen loyalitas pelanggan.

#01 Tidak semua bisnis perlu fokus pada loyalitas pelanggan

Ya, Anda tidak salah membacanya. Tidak semua bisnis perlu fokus pada loyalitas pelanggan. Tidak sedikit pemasar yang bekerja dengan activity driven ketimbang berpikir secara spesifik untuk mencari cara bagaimana merek yang ia kelola bisa terus membaik. Mereka senang “terinspirasi” dari merek lain, jika tidak mau dikatakan menjiplak. Mereka melihat merek-merek yang berhasil secara bisnis, lalu menjiplak apa yang dilakukan merek inspirasinya itu pada merek yang ia kelola. Sayangnya, merek yang kita kelola belum tentu sama dengan merek yang menjadi inspirasi. Sehingga kebutuhan akan loyalitas pelanggan bisa jadi tidak relevan untuk bisnis lain. Misalnya, bisnis real estate di mana jarak antara pembelian pertama dengan kedua bisa lebih dari sepuluh tahun. 

Bayangkan betapa konyolnya kita membangun loyalitas dari pelanggan yang kemungkinan baru akan kembali setelah sepuluh tahun. Banyak hal yang bisa terjadi dalam sepuluh tahun, termasuk juga produk yang kita punya sudah tidak sesuai untuk target market yang kita sasar. Belum lagi konsekuensi dari buying frequency yang begitu rendah, maka consumer behavior data-nya pun terlalu sedikit untuk bisa diolah dan dianalisis. Sementara, untuk produk-produk dengan frekuensi pembelian dan konsumsi yang lebih padat seperti supermarket, e-grocery, loyalitas pelanggan harus menjadi prioritas utama. Maka dari itu, kita harus mulai dengan mengerti apakah bisnis yang dikelola consumption cycle-nya pendek dan berulang secara sering sehingga butuh manajemen loyalitas atau tidak.

#02 Apakah Anda mengakuisisi konsumen yang bisa Anda pertahankan?

Kesalahan paling sering kedua dalam manajemen loyalitas adalah bagaimana perusahaan tidak memiliki sinergi strategi antara akuisisi dan retensi. Sebagian perusahaan menempatkan dua tanggung jawab ini pada dua tim yang berbeda. Mereka yang menempatkan dua tanggung jawab ini dalam satu tim yang sama pun, bahkan tidak menjamin bisa menjalankannya dengan baik. Semua bisnis yang perlu mementingkan loyalitas pelanggan harus memiliki napas loyalitas yang baik, bahkan pada strategi akuisisinya. Saya menyaksikan begitu banyak organisasi di mana kita menjadi sangat pragmatik ketika mengakuisisi, namun pada akhirnya kerepotan sendiri ketika harus mengurusi loyalitas. 

Akuisisi pelanggan memang penting, tapi dalam organisasi di mana loyalitas penting, maka semua strategi akuisisi juga harus selalu memiliki mindset loyalitas yang baik. Apakah kita mengakuisisi konsumen yang bisa kita pertahankan atau yang sekadar bisa menyelamatkan target akuisisi bulan ini saja? Ketika kita berpikir jangka pendek dan hanya berpikir target akuisisi, maka kita akan kewalahan untuk menjaga loyalitasnya. Karena kita tidak mengakuisisi orang yang bisa kita pertahankan.

#03 Start with why bukanlah saran yang baik untuk loyalitas, apalagi jika kita mulai dari what

Simon Sinek melalui bukunya yang legendaris memperkenalkan konsep start with why yang begitu masuk akal. Dalam hal apa pun yang dilakukan, sebaiknya kita memulai dengan mengerti why-nya ketimbang langsung what-nya. Dan benar saja, dalam mengelola loyalitas pelanggan, tidak sedikit dari kita yang langsung fokus pada apa yang harus dilakukan. Berbagai macam ide loyalty program pun segera membanjiri otak kita. Sayangnya, itu kita lakukan tanpa mengerti apa yang menjadi pikiran konsumen kita dan apa yang bisa bikin mereka loyal pada merek kita. 

Tanpa pemahaman tentang why-nya, maka kita pun bisa terjebak pada aktivitas loyalitas yang terlihat amat sangat masuk akal, namun tidak terasa relevan untuk target market kita. Dalam merancang strategi untuk meningkatkan loyalitas pelanggan, saya ingin membawanya lebih mendasar lagi. Kita HARUS selalu mulai bahkan dari who sebelum memulai ke why. Mengetahui betul dan mengerti siapa yang menjadi target market kita sebelum akhirnya kita mengerti why-nya. Setiap orang memiliki why yang berbeda, maka tanpa adanya kejelasan mengenai siapa yang kita targetkan, mustahil kita bisa mengetahui dan mengerti apa yang menjadi why-nya. Maka dari itu, mulai lah dari who (siapa), lalu ke why (kenapa) hingga pada akhirnya ke how (bagaimana) dan what (apa).

    #04 Kita fokus pada angka ketimbang konsumen

    Marketing berasal dari kata market yang berarti pasar. Dan pasar terjadi ketika ada pembeli. Maka pemasar harus selalu fokus pada konsumennya ketimbang pada angka-angka target dan pencapaian. Bisa dimengerti bahwa bisnis tidak akan berkesinambungan ketika kita gagal memberikan hasil/numbers yang baik. Namun perlu dipahami, bahwa dalam bisnis di mana loyalitas pelanggan penting, maka apa pun bentuk numbers-nya, baik itu omzet ataupun jumlah pelanggan tidak pernah lebih baik dari fakta-fakta di balik angka tersebut, yaitu konsumennya. 

    Dalam bisnis yang membutuhkan loyalitas, target omzet yang kita miliki hanya bisa dicapai secara berkelanjutan ketika kita memiliki cukup konsumen yang bertransaksi atas dasar loyalitas. Tidak ada satu pun perusahaan yang target dari bulan ke bulan dan tahun ke tahunnya tidak meningkat. Mencapai target penjualan pada bisnis di mana loyalitas penting, akan menjadi amat sangat sulit. Maka dari itu walaupun angka sebegitu penting, tapi kita tidak boleh kehilangan fokus dari siapa konsumen yang bertransaksi dan menghasilkan omzet itu.

    #05 Tidak konsisten

    Loyalitas adalah sebuah keberulangan. Sesuatu yang berulang, apalagi dalam frekuensi yang intens dalam jangka panjang hanya bisa dicapai ketika sudah jadi kebiasaan. Kabar buruknya, butuh waktu untuk kita bisa mengubah dan membentuk kebiasaan baru. Lihatlah bagaimana banyak dari kita yang sebegitu tak berdaya mengubah kebiasaan-kebiasaan buruk kita. Merokok, makan makanan tak sehat, kurang tidur, kurang minum, kurang olahraga, malas belajar dan lain sebagainya. Apalagi ketika kita diminta untuk menciptakan kebiasaan baru untuk menggunakan sebuah merek. 

    Kabar baiknya, otak manusia menyukai kebiasaan. Satu dari tiga program dasar otak manusia adalah untuk menghemat energi. Maka dari itu manusia memiliki insting dasar untuk sulit berubah. Karena dengan berubah otak butuh mencerna dan mengorganisasi ulang bagaimana kita menjalani hidup dan melakukan sesuatu. Salah satu metode otak untuk menghemat energi ini juga dengan membentuk kebiasaan. Jadi walaupun otak tidak suka berubah, tapi di sisi lain otak juga suka untuk membangun kebiasaan. Di sinilah, pemasar dituntut untuk bisa mendesain habit forming program di mana bahan bakar utamanya adalah konsistensi. Tanpa konsistensi, kebiasaan mustahil dibentuk, dan tanpa kebiasaan, loyalitas tidak bisa terjadi.

    #06 Sibuk hanya pada satu sisi

    Mantra paling mendasar dari strategi loyalitas adalah meningkatkan exit barrier. Kita membangun brand awareness, brand credibility dan perception juga dalam rangka meningkatkan exit barrier. “Ah, brand bagus seperti ini masa iya saya tinggalkan?”, begitu harapannya. Kita juga memberikan penawaran-penawaran menarik hingga kenyamanan-kenyamanan lebih untuk membuat orang loyal pada produk maupun layanan kita. Semua strategi untuk membangun exit barrier ini sudah benar dan sejalan dengan mantra awal. 

    Sayangnya, tidak sedikit dari strategi loyalitas pelanggan yang hanya fokus pada satu sisi, yaitu meningkatkan exit barrier namun lupa untuk memperbaiki entry barrier. Seberapa pun menariknya tawaran yang diberikan akan membuat kita enggan untuk berpindah ke merek lain menjadi tidak begitu menarik ketika memiliki entry barrier yang juga tinggi. Banyak tawaran spesial untuk meningkatkan loyalitas pelanggan hanya berlaku setelah konsumen melakukan satu hal, misalnya mencapai jumlah pembelian tertentu. Ini menjadi entry barrier yang membuat semakin sedikit konsumen yang bisa mencobanya. Jadi, tawaran yang menarik tersebut pada akhirnya tidak relevan bagi sebagian besar konsumen karena sebagian besar dari mereka belum bisa menikmatinya karena ada entry barrier-nya.

    #07 Komposisi tim yang kurang sesuai

    Program loyalitas pelanggan seringkali diserahkan pada orang-orang dengan kemampuan numerik yang baik. Maklum saja untuk mengelola program loyalitas, kemampuan mengolah dan menganalisis data menjadi wajib. Walaupun kemampuan numerik untuk mengolah data penting, namun seringkali tim yang mengelola loyalitas pelanggan menjadi ompong karena tidak memiliki orang-orang dengan dua kemampuan lain yang juga dibutuhkan, yaitu empati dan kreativitas. 

    Untuk bisa merancang program loyalitas pelanggan, dibutuhkan juga orang-orang yang memiliki empati yang baik dan bisa mengerti hal-hal implisit yang dirasakan konsumen. Ingat, ini adalah tentang loyalitas konsumen, bukan loyalitas data. Maka kemampuan untuk mengerti konsumen tidak kalah penting di samping kemampuan mengerti data. 

    Selanjutnya, kreativitas juga dibutuhkan untuk bisa mengolah insight kualitatif maupun kuantitatif yang sudah didapatkan secara kreatif menjadi sebuah treatment yang berdampak. Kombinasi ketiga kemampuan inilah yang saya percaya pada akhirnya bisa membantu kita mengelola loyalitas pelanggan dengan baik. 

    Walaupun jadi salah satu hal paling penting, namun masih banyak kesalahan-kesalahan fundamental dalam manajemen loyalitas pelanggan.

    Leave a Reply