Makin Cerdas, Makin Jeli

Makin Cerdas, Makin Jeli.

Sebelum hingga setelah pandemi COVID-19, pola interaksi konsumen dengan merek telah berubah secara drastis. Membaca pergerakan konsumen kini menjadi kunci merek memahami konsumen di tengah gonjang-ganjingnya peradaban.

Memahami konsumen menjadi salah satu strategi merek untuk tetap kompetitif di tengah persaingan bisnis. Apalagi pada akhir tahun seperti ini, diskon menjadi hal yang paling dicari-cari konsumen. Tanggal kembar seperti 12.12 atau diskon akhir tahun sudah jadi hal yang umum diburu. 

Tapi, tak semua konsumen berinteraksi dengan merek melalui saluran yang sama. Apa yang merek perlu pahami tentang konsumen saat ini?

Menurut laporan Twilio yang berjudul Consumer Preferences Report 2024, konsumen di kawasan Asia Pasifik (APAC) mengutamakan kepercayaan saat berinteraksi dengan merek. Sebanyak 56% dari 3.900 konsumen global, termasuk 900 dari kawasan Asia Pasifik (APAC), tidak akan membeli produk dari merek yang mereka kurang percaya, termasuk konsumen di Indonesia, di mana maraknya aksi penipuan berkedok program afiliasi atau promosi dompet digital turut mengikis kepercayaan konsumen terhadap brand e-commerce. Aksi penipuan yang kerap mencatut nama merek ternama dan lembaga keuangan nasional ini membuat konsumen semakin sulit membedakan antara sumber yang terpercaya dan yang palsu.

Dari penelitian Twilio, ditemukan bahwa 68% konsumen APAC lebih yakin berkomunikasi dengan merek jika pesan yang mereka terima memiliki tanda verifikasi keaslian. Selain itu, 57% konsumen menyatakan bahwa penggunaan branded messaging, alias pesan langsung dari merek, meningkatkan rasa percaya mereka terhadap suatu merek.

“Menghadapi konsumen yang semakin cerdas dan kritis, kepercayaan telah menjadi landasan dari hubungan pelanggan dengan merek,” ujar Robert Woolfrey, Wakil Presiden Twilio Communications kawasan APJ. Menurut Woolfrey, kehadiran berbagai saluran komunikasi yang lebih kaya menumbuhkan peluang bagi bisnis untuk menciptakan interaksi yang lebih dalam dengan pelanggan mereka.

Di tengah semakin tingginya harapan konsumen terhadap transparansi dan keamanan, laporan Twilio menunjukkan bahwa konsumen APAC merasa lebih percaya pada merek yang menerapkan langkah keamanan ekstra seperti autentikasi dua faktor (2FA) atau penggunaan nomor telepon resmi. Sebanyak 55% konsumen merasa 2FA memberikan rasa aman, sedangkan 54% mengapresiasi respons cepat dari merek atas keluhan atau pertanyaan. Hubungan yang didasarkan pada kepercayaan ini dinilai mampu mendongkrak loyalitas dan retensi pelanggan serta memicu promosi dari mulut ke mulut, yang pada akhirnya meningkatkan hasil bisnis.

Selain keamanan, pilihan saluran komunikasi yang tepat juga menentukan kesuksesan bisnis dalam menjaga hubungan dengan pelanggan. Dari survei, ditemukan bahwa 86% konsumen APAC mengharapkan merek menggunakan saluran komunikasi yang sesuai dengan preferensi mereka, tetapi hanya 48% interaksi merek memenuhi harapan ini. Kesalahan dalam pemilihan saluran dapat berdampak negatif, karena 20% konsumen menyatakan akan beralih ke merek lain jika saluran yang mereka sukai tidak tersedia. 

Email (81%), pesan teks (46%), dan aplikasi pesan sosial seperti Facebook Messenger menjadi saluran favorit, sementara notifikasi dari aplikasi merek kurang diminati. Bahkan email masih jadi preferensi saluran antara merek dan konsumen di kalangan Gen Z, dengan persentase 70%.

Responsivitas merek terhadap permintaan konsumen juga menjadi faktor krusial di era digital saat ini. Hanya 31% konsumen APAC yang puas dengan waktu respons merek terhadap permintaan mereka. Di Indonesia, waktu respons yang cepat berperan penting dalam mempertahankan pelanggan, mengingat 53% konsumen bersedia membeli dari merek lain jika respons yang diberikan lambat. Sebaliknya, merek yang memprioritaskan respons cepat memiliki peluang besar untuk meningkatkan tingkat retensi pelanggan dan mendorong kepuasan.

Laporan ini juga menunjukkan bahwa merek yang mengadopsi AI berpotensi untuk memperkuat interaksi mereka dengan konsumen. Sebanyak 7 dari 10 merek global telah memanfaatkan AI untuk mempersonalisasi konten dan pemasaran mereka. Sebagai hasilnya, 45% perusahaan mencatat peningkatan skor kepuasan pelanggan, dan 41% melaporkan keputusan bisnis yang lebih baik berbasis data. Bagi merek di Indonesia, manfaat AI terlihat pada peningkatan skor kepuasan pelanggan (54%), segmentasi dan penargetan pasar yang lebih efektif (54%), dan waktu respons yang lebih cepat (51%).

Namun, meski AI memiliki peran yang signifikan dalam interaksi dengan pelanggan, masih banyak merek yang merasa belum memiliki data yang cukup untuk memahami preferensi pelanggan mereka. Hanya 16% merek merasa yakin memiliki data yang cukup untuk memahami kebutuhan pelanggan mereka secara menyeluruh, dan hanya 19% yang merasa memiliki profil pelanggan yang komprehensif. Tantangan ini menunjukkan perlunya strategi data yang lebih efektif untuk memanfaatkan AI secara maksimal dalam interaksi pelanggan.

    Dalam laporan tersebut juga disorot pentingnya transparansi data bagi merek yang menggunakan AI dalam interaksi pelanggan mereka. Meski 91% merek mengaku transparan dalam penggunaan data pelanggan, hanya 48% konsumen yang setuju. Hal ini menunjukkan adanya kesenjangan antara persepsi merek dan konsumen terkait transparansi data. Di Indonesia, sebanyak 63% pelanggan menginginkan kejelasan mengenai cara merek menggunakan data mereka, sementara di Filipina dan India, angka ini mencapai 77% dan 69%.

    “Pelanggan saat ini mengharapkan pengalaman yang personal dan ingin tahu bagaimana data mereka digunakan,” ujar Kathryn Murphy, SVP Product di Twilio. Murphy menambahkan bahwa transparansi dalam penggunaan AI bukanlah pilihan, melainkan komponen penting dalam membangun kepercayaan dan loyalitas pelanggan.

    Di Indonesia, personalisasi berbasis AI terbukti mampu meningkatkan keuntungan merek. Survei menunjukkan bahwa 55% konsumen lebih cenderung untuk membelanjakan uang mereka pada merek yang mempersonalisasi interaksi mereka. Tren ini terutama terlihat di Hong Kong, Brasil, dan Indonesia, dengan masing-masing 88%, 75%, dan 73% konsumen mengaku siap berbelanja lebih banyak pada merek yang memberikan interaksi personal. Selain itu, 64% konsumen global bersedia meninggalkan merek yang tidak memberikan personalisasi, termasuk 84% dari konsumen Indonesia yang disurvei.

    Konsumen, terutama dari generasi Z dan Milenial, menuntut pengalaman yang sangat personal dan interaksi real-time. Tujuh dari sepuluh konsumen dari generasi ini siap meninggalkan merek jika tidak mendapatkan pengalaman terpersonalisasi pada saluran yang mereka gunakan secara rutin. Temuan ini menunjukkan penting bagi merek untuk terus berinovasi dalam memberikan pengalaman personal kepada konsumen, khususnya dengan menggunakan AI.

    Facts: 

    Image or Photo Marketeers Max

    Leave a Reply